A. Pengantar
Saya memulai percakapan ini dengan menarik masuk saudara-saudara ke dalam ragam perbedaan interpretasi atas hal ‘pembangunan’. Jika ingin lebih baik, kita dituntut membangun sesuatu. Berbagai teori dan pendekatan membingkai manusia dalam sebuah unlimited dilemma, tak tahu kapan selesainya. Contoh yakni bangun infrastruktur-kemakmuran akan mengikuti, bangun pendidikan maka kesejahteraan akan mengikuti, atau bangun sumber daya manusia maka kesejahteraan akan mengikuti, dan seterusnya. Apakah itu aspek-aspek penjelas pembangunan ?
Lasim kita bercakap-cakap tentang konsep pembangunan (development) sebagai proses perubahan yang mencakup seluruh sistem sosial, juga aspek-aspek seperti politik, ekonomi, infrastruktur, pertahanan, pendidikan dan teknologi, kelembagaan, dan budaya. Pada batasan tertentu pembangunan dipahami sebagai suatu usaha atau rangkaian usaha pertumbuhan dan perubahan yang berencana dan dilakukan secara sadar oleh suatu bangsa, negara dan pemerintah, menuju modernitas dalam rangka pembinaan bangsa (nation building). Artinya membangun dimengerti sebagai proses membuat sesuatu hal menjadi berbeda dari hal sebelumnya. Dalam aras pikir itu, bangkitnya industrialisasi diterima sebagai wujud pembangunan, atau masifnya perbaikan infrastruktur seperti gedung pusat perbelanjaan, jembatan, jalan raya, perumahan-perumahan, dinilai sebagai langkah-langkah nyata dari sebuah upaya membangun dunia. Pada sudut pandang lain, membangun diartikan sebagai menjamin terpenuhinya kebutuhan manusia. Mungkin demikian.

Coba kita tengok di negara-negara dengan predikat ‘maju’, terutama yang menganut ideologi ‘kesejahteraan negara’ (welfare state), pembangunan kesejahteraan sosial merupakan wujud dari kewajiban negara (state obligation) dalam menjamin hak-hak dasar warga negara. Di situ tergambar wujud dari keberpihakan negara kepada kebutuhan nyata masyarakat atau warga negara. Di Indonesia, meskipun konstitusinya secara de jure (legal-formal) merujuk pada sistem kesejahteraan negara, implementasi dari pembelaan negara terhadap hak-hak fakir miskin, kaum telantar dan penyelenggaraan jaminan sosial, jaminan kesehatan, bahkan jaminan kesejahteraan masih problematis.
Saat ini tentang pembangunan, kita dihadapkan selain pemahaman, kita temukan komitmen penyelenggara negara terhadap pembangunan kesejahteraan sosial masih belum solid, faham neo-liberalisme yang mengedepankan kekuatan pasar, investasi modal finansial, dan pertumbuhan ekonomi agregat dianggap lebih menjanjikan kemakmuran dibandingkan dengan pendekatan kesejahteraan sosial yang mengedepankan keadilan sosial, investasi sosial dan penguatan kapasitas sumberdaya manusia. Di daerah kita, desentralisasi yang kita percaya dapat memberi ruang operasional kepada kita untuk menggerakkan pembangunan, nampaknya dominan digerakan oleh globalisasi pada aras internasional dan reformasi pada aras nasional sehingga berimplikasi pada mencuatkan isu-isu yang mempengaruhi perkembangan kesejahteraan sosial di daerah. Debat ini menunjukkan bahwa ada hal yang mestinya sedang bermasalah dalam proses pembangunan.
Asumsi awal saya: Yang value tidak diolah secara optimal, sedangkan yang prakmatik terlampau dominan dikelalo. Dalam kesempatan diskusinya saya menawarkan gagasan pembangunan sebagai proses ‘pem-baru-an’ yang dtopang kuat oleh value (nilai).
B. Gereja
Diskursus tentang Gereja sering dieratkan dengan apa itu Agama juga kita mengetahui Gereja sebagai tempat ibadah, geraja sebagai umat Allah, dan sebagainya. Sehingga dalam realitas aktual kehidupan manusia, Gereja dipandang sebagai bagaian hakikih dari Agama (Katolik, Protestan). Agama yang kita kenal, kita anut, kita hidupi, bukan datang dari ‘pewahyuan’ ekternal tetapi diangkat dari ‘eksperiensi’ atau pengalaman konkret manusia. Agama merupakan entitas fungsional yang melekat erat dengan kehidupan manusia dan tatan keberfungsian relasi antar manusia, relasi manusia dengan ‘kekuatan supra natural’ atau ‘yang metafisik’, relasi manusia dengan yang duniawi. Singkatnya, agama membantu manusia mengenal siapa dirinya di dunia dan membantu manusia mengenal siapa Tuhannya. Oleh karena itu mendiskusikan apa itu agama sama dengan menggugat siapa itu manusia, siapa itu Tuhan, apa itu dunia, apa itu surga, dalam lingkup lokal, regional, nasional maupun mondial. Agama itu entitas fungsional dalam kepentingan daya guna dan pengaruh kemasyarakatan. Maknanya adalah agama membuat manusia agar tidak ada kekacauan, tidak ada perpecahan, tidak ada kesulitan dalam hidup sosial manusia.
Tentang Gereja batasannya cukup tegas. Secara etimologis, terminologi ‘Gereja’ diadopsi dari kata bahasa asing yang mengalami transliterasi dari bahasa Portugis ‘IGREJA’, dengan kehilangan huruf hidup (i = Greja). Term ‘IGREJA’ dikaitkan dengan kata ‘Iglesia’ (Spanyol) dan kata ‘ēglise’ (Prancis) serta kata ‘ecclesia’ (Latin) sampai ke ‘ekklesia’ (Yunani) dengan sedikit mengalami perubahan huruf hidup maupun huruf mati seturut kesamaan tatanan artikulasi (g dengan cc atau k; r dengan I; J dengan s), tanpa perubahan arti. Kata ‘ekklesia’ (Yunani) sendiri berarti sidang, perkumpulan, perhimpunan, paguyuban pada umumnya (seperti di kampung, di kota atau negara). Kata itu malah tidak dipergunakan untuk menyebut ‘perkumpulan ibadat’. Dalam terjemahan Alkitab yang berbahasa Yunani (LXX= Septuaginta) kata ‘ekklesia’ secara khusus hanya dipakai sebagai terjemahan kata Ibrani ‘qāhāl’ (tidak selalu diterjemahkan dengan ‘ekklesia’). Dalam Kitab Kejadian, Imamat dan Bilangan qāhāl disalin dengan kata ‘śynagōgē’. Dan di tempat lain dipergunakan kata-kata ‘ochlos’ (kerumun, sebagaimana pada Yer. 31:8; Yes 16:14; 17:14) atau ‘plēthos’ (kumpulan orang, misalnya Kel. 12:6; 2 Taw. 31:18).
Dari batasan pemahaman di atas, kehadiran gereja dihubungkan dengan tugas-fungsinya yang secara esensial menyangkut upaya membawa manusia kepada kebaikan duniawi dan religius (keselamatan jiwa). Gereja hadir sebagai suatu persekutuan atau lembaga didirikan dengan fungsi Kristus yang tiada lain ialah menyelamatkan dunia (Vide Kristologi). Menurut ungkapan Kitab Suci Kristus adalah Juru Selamat. Gereja ialah pengantara Allah dan manusia, dan sekaligus juga adalah pembebas manusia. Jadi itulah tugas Gereja. Maka Gereja adalah suatu persekutuan orang Kristen, yang melanjutkan karya penyelamatan Kristus di dunia ini. Tugas Gereja ini sering diringkas dengan kata-kata pendek: pertama, pewartaan sabda (kerygma) atau mengajar/magistra; kedua, memberikan rahmat (penebusan), perayaan sakramen-sakramen (liturgy); ketiga, menggembalakan atau membimbing umat manusia (pastoral). Mungkinkah tugas Gereja demikian itu telah mencakupi substansi ‘apa itu pembangunan’?.
C. Pembangunan: Pembaruan
Secara teoritis, pembangunan merupakan intervensi kebijakan untuk sebuah pembaruan (program pem-baru-an). Di sini efek-efek dari kebijakan intervensi apapun juga tampaknya akan dimodifikasi oleh interaksi-interaksi yang kompleks dalam proses-proses sosial dengan institusi-institusi formal sebagai agennya. Tanpa sarana untuk mempertimbangkan modifikasi ini, strategi-strategi pembaruan berisiko melahirkan konsekuensi-konsekuensi yang tidak dimaksudkan dan mungkin juga tidak diinginkan. Salah satu masalah lebih praktis muncul berkenaan dengan kekuatan institusional yang diperlukan untuk menginplementasikan program-program pembaruan. Asumsi yang mendasari kebanyakan kebijakan adalah pemerintah yang bertindak lewat institusi-institusi negara (agen pembaruan).
Akan tetapi dapat saja terjadi bahwa kekuatan-kekuatan sosial memiliki sumber-sumber daya ekonomi dan sosial-budaya yang sanggup melawan dan memodifikasi strategi-strategi reformasi atau merintangi implementasinya. Institusi-institusi negara itu sendiri bersifat heterogen dan sama sekali tidak dapat dipastikan bahwa ia bisa menawarkan sebuah proses transmisi yang mulus bagi penerapan kebijakan. Sehingga dalam tataran pragmatis pembangunan yang mengandalkan pemanfaatan sumber daya alam tanpa diimbangi dengan kehati-hatian dalam pengelolaannya, yang mengakibatkan kerusakan dan kehancuran sumber daya alam dari waktu ke waktu semakin tinggi. Atau dalam lingkup sosiologis memungkinkan disharmoni sosial (misalkan pada kasus Morowali: pertiakaian antara pekerja loka dengan tenaga kerja asing). Kondisi ini menjadi semakin parah dengan adanya ketidakadilan basis legitimasi hukum yang memberikan hak penguasaan yang lebih besar kepada pengusaha dibandingkan hak yang ada pada masyarakat yang meskipun jumlahnya lebih besar menikmati sedikit ruang dalam memanfaatkan sumber daya alam. Pengelolaan sumber daya alam yang bersifat sektoral sangat berpotensi terjadinya tumpang tindih kewenangan guna mencapai keuntungan komersial tanpa memperhitungkan daya dukung ekologisnya. Pendekatan seperti ini, jika kita lihat secara kritis merupakan pesanan untuk mendukung basis ekonomi pertumbuhan dengan birokrat-intelektual-komprador sebagai agennya. Apakah itu pembangunan?
D. Pembangunan Nilai
Mungkin kita bertanya apa obyek dari pembangunan nilai. Secara esensial nilai (velue) itu tidak terbatas. Nilai tidak dibatasi oleh baik dan buruk karena lokasi nilai itu tidak terbatas. Ruang nilai itu ada dalam imaginasi manusia yang majemuk. Nilai itu mengacu kepada daya pesona yang memukau manusia sedemikian sehingga manusia ini memilikinya. Agar nilai itu diperoleh manusia menempuh dua jalan. Pertama manusia menurunkan nilai yang tak terbatas dalam simbol-simbol yang diciptakan dan bentuk dan warnanya dapat memberikan kepenuhan kebahagiaan karena pembuat nilai (manusia) dekat dengan simbol yang dibuatnya. Misalnya untuk puas, orang mengurut nilai : sangat baik, Baik, Kurang Baik melalui simbol 1-10. Manusia akan puas jika ia mampu mencapai mewujudkan nilai Sangat baik melalui simbol matematik 10. Sehingga kita sering mendengar kualitas pembangunan dan kuantitas pembangunan. Kedua, merumuskan cara pencampaian nilai. Produk-produk aturan, norma, hukum dan piranti pembatas lainnya diproduksi manusia sebagai cara yang dibenarkan untuk mengatasi kemerosotan. Celakanya adalah ketika terjadi kemerosotan kuantitatif, maka manusia dikategorikan sebagai yang tidak bernilai. Momentum kritis dari nilai adalah keadaan kemerosotan karena manusia tidak mampu mendekatkan nilai kepada simbol-simbol yang diproduksi.
Dalam konteks takaran pembangunan, terjadi deviasi yang hebat dan potensi degradasi cukup terbuka. Hal sederhana, ada banyak pusat perbelanjaan di Kota bahkan sampai ke desa-desa. Ironisnya angka kemiskinan tidak turun, pembangunan dirasakan begitu hebat bergerak namun ada sejumlah sarjana sedang bingung hendak kerja dimana dan kerja apa. Dengan ilustrasi ini, saya ingin menegaskan bahwa kekuatan insfrastruktur fisik sebagai simbol kemajuan sering berpotensi menjauhkan manusia dari simbol-simbol kuantitatif. Ini disebabkan oleh karena manusia tidak memiliki otonomi dirinya ketika dihadapkan kepada nilai aktual sebagaimana muncul berupa materialisme, pragmatisme, egoisme, hedonisme, primordialisme, dogmatisme, radikalisme sempit, dan lain-lain. Kesan yang timbul yakni manusia terpenjara oleh pembangunan.
E. Gereja dalam Pembangunan
Pada batasan konsep dan tugas-fungsi Gereja, terbaca cukup jelas posisi Gereja dalam proses pembangunan. Secara normatif, partisipasi Gereja dalam tata kelola dunia megacu kepada Dokumen Resmi Ajaran Gereja : ENSIKLIK-ENSIKLIK yang esensinya adalah mendeklarasikan Gereja sebagai tiang penopang dan dasar kebenaran dalam kehidupan sosial. Justifikasi kebenaran yang dimaksudkan berbeda dari kebenaran teoretis-pragmatis sebagaimana dianur oleh dunia teknokratik dalam tata kelola pembangunan. Yang dimaksudkan dengan kebenaran dalam ajaran Gereja yakni prinsip relasi antara yang dunia dan yang ilahi dalam personifikasi Yesus Kristus. Maka Gereja melaksanakan prinsip-prinsip yang ditetapkan oleh Kristus (pendiri Gereja): ”Akulah jalan, kebenaran dan hidup…, Akulah terang dunia”. Ini kepastian nilai yang wujud kebenarannya yakni keselamatan kekal manusia yang nampak melalui kepeduliaan akan kesejahteraan jasmani anggota Gereja. Konkretnya, saat Ia menyaksikan sekian banyak pengikut-Nya menanggung lapar, tergerak hati-Nya dan berseru: ”Hati-Ku merasa kasihan terhadap orang banyak ini”. Hemat saya, itu bukan kata-kata hampa namun sebuah konstruksi partisipasi sosial (ketika Ia secara menakjubkan melipatgandakan roti untuk mengenyangkan mereka yang lapar itu).
Salah satu Dokumen Ajaran Sosial Gereja yang menegaskan Panggilan Peran Gereja dalam Pembangunan adalah Ensiklik RERUM NOVARUM dari Paus Leo XIII (1891). Konteks Ensiklik RN ini adalah Revolusi industri; kemiskinan yang hebat pada kaum pekerja/buruh; tiadanya perlindungan pekerja oleh otoritas publik dan pemilik modal; jurang kaya miskin yang luar biasa. Bagi Gereja martabat manusia mesti ditahtakan secara agung. Oleh karena itu Gereja terus mereposis sikapnya berhadapan dengan isu-isu baru dalam perkembangan terakhir di bidang sosial, politik dan ekonomi; peranan negara dalam kemajuan ekonomi; partisipasi kaum buruh; soal kaum petani; bagaimana ekonomi ditata seimbang; kerjasama antarnegara; bantuan internasional; soal pertambahan penduduk; kerjasama internasional; ajaran sosial Gereja dan kepentingannya.
Sikap Gereja cukup adaptif-resnposif terhadap kondisi-kondisi aktual dunia. Melalui Ensiklik MATER ET MAGISTRA (1961) yang oleh Yohanes XXIII menunjukkan Kristianitas dan Kemanusiaan sebagai unsus hakikih eksistensi Gereja. MATER ET MAGISTRA hadir sebagai wujud kepedulian Gereja untuk mengatasi masalah kemiskinan luar biasa di negara-negara selatan; maraknya problem sosial dalam skala luas dunia. Ensiklik ini secara hirarkis ditarik diterima sebagai kontinuitas kepedulian sosial Gereja sebagaimana ditegaskan dalam Ensiklik RN.
Posisi Gereja jelas dalam memberikan reasoning atas masalah dunia berlandaskan kepada spiritualitas Kristus. Gereja secara kuntinyu memelihara nilai-nilai sosial primer sebagai basis harapan dilandaskan kepada martabat ilahi manusia. Prisip-prinsip dasar seperti kemanusiaan, kesejahteraan, keadilan, dan sebagainya ditanggapi oleh Gereja dengan tindakan-tindakan mendasar dan terarah kepada bonum comunie. Fakta bahwa perubahan nilai dari pembangunan mungkin kadang diselewengkan dengan alasan utilitarian tidak serta merta mengubah permanensi sikap Gereja dan mungkin sikap Negara (Pemerintah). Oleh karena itu bila diletakkan dalam asumsi-asumsi human-construction, tidak ada subordinasi antara Gereja dan Negara (Pemerintah) di hadapan manusia/masyarakat. Karena tatanan sosial merupakan sistem tunggal yang realitas aktualnya menarik sebuah simpati kepada persoalan keadilan, cinta kepada kebenaran, kesejahteraan, kebaikan bersama, serta sejumlah nilai universal lainnya.
F. Catatan Penutup
- Secara hirarkis Gereja itu otonom, Negara pun demikian memiliki otonomi. Ini nampak jelas dalam prakteknya Negara tidak mutlak menyokong Gereja. Akan tetapi Gereja dapat menyokong fungsi sosial Negara.
- Hemat saya titik kritis dalam urusan pembangunan adalah melakukan dekonstruksi dan decentering. Yang value mesti secara optimal diolah dalam tatakelola pembangunan. Dengan jalan itu manusia menjadi pusat pembangunan, subjek dari keseluruhan proses tatakelola pemerintah adalah manusia. Jika demikian maka problem kemiskinan, stunting, ketidak adilan, dalan lain-lain menjadi tanggung jawab sosial semua stakeholders atau yang kita sebut institusi atau agen pem-baru-an.
- Dalam konteks Indonesia, contoh eksisten nyata peran Gereja (Katolik) dalam pembagunan dunia pendidikan jauh sebelum kemerdekaan. Meskipun secara yuridis Negara melegitimasi hasil Konverensi Wali Gereja Indonesia 1952 yang mendorong pengakuan pendirian lembaga pendidikan Katolik. Ada dua point dalam konteks ini, pertama, konteks pertumbuhan kesadaran awam Katolik untuk mewujudkan peran Gereja dalam perkembangan pembangunan. Kedua, konteks pertumbuhan Gereja di dalam Negara Republik Indonesia merdeka. Gereja Katolik sebagai golongan masyarakat yang mampu memberikan kontribusi bagi pembangunan masyarakat.
- Tidak ada dikotomi Institusi Gereja vs Institusi Negara. Yang ada adalah otonomi dua Lembaga itu Gereja dan Negara.
**Pacem in Terris**
Catatan Kaki
[1] Rerum Novarum/RN merupakan Ensiklik pertama ajaran sosial Gereja. RN fokus menaruh perhatian Gereja pada keprihatinannya atas kondisi kerja pada waktu itu, dan tentu saja juga nasib para buruhnya. Tampilnya masyarakat terindustrialisasi mengubah pola lama hidup bersama, pertanian. Tetapi, para buruh mendapat perlakuan buruk. Mereka diperas. Jatuh dalam kemiskinan struktural yang luar biasa. Dan tidak mendapat keadilan dalam upah dan perlakuan. Ensiklik RN merupakan ensiklik pertama yang menaruh perhatian pada masalah-masalah sosial secara sistematis dan dalam jalan pikiran yang berangkat dari prinsip keadilan universal. Dalam RN hak-hak buruh dibahas dan dibela. Pokok-pokok pemikiran RN menampilkan tanggapan Gereja atas isu-isu keadilan dan pembelaan atas martabat manusia terutama kaum buruh.
[2] Mater Et Magitra fokus menyatakan sikap Gereja atas persoal jurang kaya miskin tidak hanya disimak dari sekedar urusan pengusaha dan pekerja, atau pemilik modal dan kaum buruh, melainkan sudah menyentuh masalah internasional. Untuk pertama kalinya isu “internasional” dalam hal keadilan menjadi tema ajaran sosial Gereja. Ada jurang sangat hebat antara negara-negara kaya dan negara-negara miskin. Kemiskinan di Asia, Afrika, dan Latin Amerika adalah produk dari sistem tata dunia yang tidak adil. Di lain pihak, persoalan menjadi makin rumit menyusul perlombaan senjata nuklir, persaingan eksplorasi ruang angkasa, bangkitnya ideologi-ideologi. Dalam Ensiklik ini diajukan pula “jalan pikiran” Ajaran Sosial Gereja: see, judge, and act. Gereja Katolik didesak untuk berpartisipasi secara aktif dalam memajukan tata dunia yang adil.
[3] Terlepas dari sejarah perjuangan Umat Katolik untuk kemerdekaan, Tahun 1952 KWI mendorong adanya produk hukum yang melegitimasi pendidikan berbasis agama. Maka tahun 1954 Pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Pokok Pendidikan yang intinya memberikan keleluasaan warga negara mendirikan sekolah dan universitas swasta sesuai dengan keyakinan/iman dan kepercayaan masing-masing.
Komentar