Partai Prima mengajukan gugatan perdata terhadap KPU di PN Jakarta Pusat setelah dinyatakan tidak memenuhi syarat verifikasi administrasi partai politik calon peserta pemilu. Gugatan terhadap KPU yang teregister dengan nomor 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst itu didaftarkan pada 8 Desember 2022.
Hasilnya, majelis hakim menyatakan Partai Prima adalah partai politik yang dirugikan dalam verifikasi administrasi oleh tergugat (KPU). Majelis hakim juga menghukum tergugat (KPU) membayar ganti rugi materiil sebesar Rp 500 juta kepada penggugat. Hasil putusan juga memerintahkan penundaan pemilu hingga bulan Juli 2025.
Atas hasil putusan tersebut, DR. Nicholay Aprilindo Bengngu, SH., MM. yang juga merupakan aktivis Polhukam dan seorang advokad melalui pesan whatsApp-nya menyatakan pendapatnya melalui media Suara Amfoang.
Praktisi hukum yang akrab disapa Lay itu menilai, hakim yang mengadili perkara perdata Partai Prima vs KPU sudah melampaui batas kewenangannya.

Lay menyampaikan, sengketa yang terkait proses, administrasi, dan hasil pemilu itu diatur tersendiri dalam hukum dan UU Pemilu, yang mengatur bahwa kompetensi absolut maupun relatif atas sengketa pemilu bukan di Pengadilan Negeri.
“Apabila terjadi sengketa sebelum pencoblosan, jika terkait proses admintrasi yang memutus adalah Bawaslu. Akan tetapi jika soal keputusan kepesertaan parpol dalam pemilu, hanya bisa digugat ke PTUN.” kata Lay.
Lay yang juga merupakan Sekretaris Bidang Pengkajian Hukum dan perundangan DPN Peradi menjelaskan, khusus untuk Partai Prima, pihak Partai Prima sudah melakukan upaya hukum dan sudah kalah sengketa di Bawaslu dan di PTUN dan hal tersebut merupakan upaya penyelesaian sengketa administrasi jika terjadi sebelum pemungutan suara sehingga jika terjadi sengketa setelah pemungutan suara atau sengketa hasil pemilu, maka Mahkamah Konstitusi (MK) yang memiliki kompetensi untuk menyelesaikannya.
“Itu pakemnya. Tak ada kompetensinya Pengadilan Umum (PN). Perbuatan melawan hukum secara perdata tak bisa dijadikan obyek sengketa secara perdata terhadap KPU dlm pelaksanaan pemilu.” jelas Lay.
Lay menambahkan, hukuman penundaan pemilu beserta semua prosesnya tidak bisa dijatuhkan dalam dan oleh PN sebagai kasus perdata sebab menurut UU Pemilu, penundaan pemungutan suara dalam pemilu hanya bisa diberlakukan oleh KPU untuk daerah-daerah tertentu yang bermasalah sebagai alasan spesifik, bukan untuk seluruh Indonesia.
“Misalnya, di daerah yang sedang ditimpa bencana alam yang menyebabkan pemungutan suara tak bisa dilakukan. Itu pun bukan berdasar vonis pengadilan tetapi menjadi wewenang KPU untuk menentukannya sampai waktu tertentu.” kata Lay.
Karena itu, menurut Lay, vonis yang sudah dikeluarkan PN Jakarta Pusat itu tak bisa dimintakan eksekusi, karena tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat pada semua orang (erges ormes) dan tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum dalam artian “Final & Binding”, sehingga harus dilawan secara hukum melalui upaya hukum banding sampai pada kasasi.
“Dan rakyat bisa menolak secara masif jika akan dieksekuasi. Mengapa? Karena hak melakukan pemilu berdasarkan konstitusi UUD 1945 adalah hak perdata rakyat secara absolut. Itu bukan hak perdata KPU.” tegas Lay. (Benyamin Banoe)
Keterangan:
* DR. Nicholay Aprilindo Bengngu, SH.,MM. adalah praktisi hukum yang pernah terlibat dalam penanganan sejumlah kasus antara lain:
1. Tim Hukum Pelanggaran HAM Berat Timtim.
2. Tim Hukum Kasus UNHCR Atambua
3. Tim Hukum kasus Penembakan/Terbunuhnya Pasukan PBB/UNPKF asal New Zealand bernama Kopral Leonard Manning di Desa Debululik Suai Timor Leste.
4. Tim Hukum Pilpres 2009, 2014 & 2019 di MK RI.
5. Tim Hukum UNTAS 2000-2004.
6. Tim Hukum FKPTT (Forum Komunikasi Pejuang Timor-Timur Pro Indonrsia sampai sekarang.
Komentar