google.com, pub-1400615731964576, DIRECT, f08c47fec0942fa0
google.com, pub-1400615731964576, DIRECT, f08c47fec0942fa0
oleh

Kudang Laiskodat, Tokoh Pejuang Karismatik Timor Abad XVII

Tokoh pejuang karismatik ini berasal dari suku Helong. Suku Helong menyebutnya “Aka Kudang Neno Laiskodat” atau kesehariannya disebut “Koen Laiskodat”. Orang Belanda menyapanya dengan “Kudang” atau “Kuda” serupa dengan bentuk kakinya yang kuat dan kokoh seperti kaki kuda, serta kekuatan sama seperti kekuatan seekor kuda. Ia mempunyai kekuatan fisik yang kuat sehingga disegani dan dihormati oleh masyarakat Helong.

Dalam ruang lingkup kehidupan masyarakat Helong, “Aka” adalah seorang Pemuka Adat dan Meo (panglima perang) yang memiliki tanah yang luas atau Tuan Tanah (Dale Lama Tua). Dalam sistem adat Helong, Kudang diberikan tugas mulia, yakni sebagai pengawas tanah suku dan juga memiliki kewenangan untuk membagi-bagikan tanah suku kepada masyarakat yang belum mempunyai tanah garapan dan tempat tinggal. Pembagian tanah kepada masyarakat dengan syarat harus mengelola dengan baik dan bertanggungjawab kepada Yang Maha Tinggi, sesama maupun lingkungan hidupnya. Jika tanah yang diberikan tidak dimanfaatkan, maka diberi teguran keras dan bahkan tanah itu diambil kembali untuk selanjutnya diberikan kepada masyarakat yang betul-betul membutuhkan.

Robby A. Ndun, Penulis.

Masyarakat Helong dan masyarakat sekitarnya memandang bahwa tanah adalah milik Raja.  Hasil panen setiap tahun harus diserahkan atau “susut” sebagian kepada Raja atau Tuan Tanah. Penyerahan hasil panen oleh masyarakat petani menunjukkan tanda kesetiaan dan rasa hormat berdasarkan hati nurani yang tulus dan ikhlas  kepada Raja atau Tuan Tanah serta dimaksudkan pula sebagai ucapan syukur kepada Wali Yang Maha Tinggi. Masyarakat petani juga bergotong-royong menyiapkan kebun raja atau “klap itu” karena memandang Raja atau Tuan Tanah tidak boleh bekerja dan berdiri di tempat yang panas. Masyarakat petani menyayangi dan menghormati Tuan Tanah atau Raja dan sebaliknya, Tuan Tanah atau Raja selalu menyayangi dan melindungi masyarakatnya dari masa ke masa.

Ketenteraman dan kedamaian terusik, manakala kedatangan bangsa Portugis dan bangsa Belanda ke Kupang, Pulau Timor. Kehadiran mereka mula-mula disambut dengan baik dan penuh kekeluargaan, bahkan diterima secara adat menurut tata adat Helong, “basan”. Melalui “basan” maka adanya mata rantai persaudaraan dan harmonisasi antara masyarakat Helong dan bangsa Barat yang ditunjukkan dengan rasa hormat, komunikasi dan dialog yang baik serta perilaku adaptif kepada pemimpin lokal. Namun, sikap mesra bangsa Barat tidak berlangsung lama, mereka mempunyai misi ingin menjajah sehingga lambat laun menjenuhkan dengan melakukan tindakan sewenang-wenang dan melakukan tipu muslihat. Ulah mereka menimbulkan penderitaan baik secara fisik maupun psikis sehingga membebani kehidupan masyarakat yang diigambarkan secara lengkap oleh seorang penjelajah dan seniman Perancis yang berkunjung ke Kupang tahun 1817 yang bernama, Jecques Etienne Victor Arago,1790-1855.

Baca Juga  Siswa SDG Nauen Belum Dapat Informasi Kelulusan, Ketua Komite Mengadu ke Dinas

Dengan melihat penindasan yang sangat kejam dan tidak manusiawi yang dilakonkan oleh bangsa Barat, maka munculah seorang figur pejuang yang hendak berjuang dan rela berkorban untuk membela masyarakatnya. Sosok pejuang itu adalah Kudang Laiskodat. Tokoh pejuang ini mengatakan bahwa,” hidup akan lebih bermakna apabila menunaikan tugas dan tanggungjawab kepada diri sendiri, keluarga, masyarakat, Negara maupun kepada Yang Maha Esa’’.

Tanggungjawab merupakan kodrat nurani manusia dan bentuknya dalam pengabdian dan pengorbanan. Pengabdian berupa perbuatan dan pikiran baik, kerahkan seluruh kekuatan sebagai wujud kesetiaan, cinta, sayang, hormat dan tulus ikhlas. Pengorbanan meliputi segala yang diberikan sebagai tanda bakti. Atas dasar filosofi hidup seperti ini terpatri dalam benak tokoh karismatik Kudang Laiskodat. Sang pejuang terpanggil dengan niat yang luhur untuk membangkitkan orang Helong dari keterpurukan karena kerja paksa/ kerja rodi, penerapan pajak yang tinggi, dominasi dan eksploitasi sumber daya alam (tanah masyarakat dan raja diambil dan dikuasai seacara paksa), ketertinggalan, kemiskinan, dan kebodohan, gerak-gerik rakyat dipersempit serta diskriminatif oleh kaum kolonial Belanda. Prinsip luhurnya adalah membebaskan orang Helong dari belenggu dan perbudakan penjajahan. Berbagai taktik dan strategi perjuangannya untuk mewujudkan cit-cita guna mensejahterakan masyarakatnya.

Ada pro dan kontra, namun semangat kegigihannya yang militan, berjiwa heroik dan berwawasan luas yang akhirnya berhasil menggelorakan semangat juang dalam menumpas penjajahan. Pekikan semangat dalam bahasa Helong,” deken baen bel blai muti deken” artinya lebih baik memberikan sesuatu kepada suku bangsa sendiri, daripada memberikan sesuatu kepada orang asing. Banyak pengikut dan simpatisan berpartisipasi mendukung dan mengikuti jejak langkah perjuangannya sehingga membuat kaum kolonial Belanda terancam.

Ancaman bagi kolonial Belanda karena tokoh karismatik Kudang Laiskodat melakukan pemberontakan dengan berteriak-teriak sepanjang jalan mengutuk perilaku kompeni Belanda yang hanya menyengsarakan rakyat pribumi. Ia mengecam keras para mandor pribumi sebagai pegawai kompeni Belanda yang turut menarik keuntungan dan ikut menyusahkan rakyat. Beliau terus berjuang dengan membangun aliansi-aliansi dengan saudaranya dengan berlandaskan pada adagium kuno leluhurnya” Sawu mau, Belu mau, Tie mau” .

Ungkapan ini bertujuan untuk membangkitkan kembali tali persaudaraan antara orang Timor, orang Sabu, orang Rote,dan orang Semau. Buktinya, mereka semua terlibat dalam menyumbangkan tenaganya melalui para meo dalam menghadapi kekuatan dan kekuasaan kompeni Belanda di Kupang.

Namun seiring dengan berjalannya waktu, Belanda melakukan strategi politik divide et impera atau memecah belah untuk menjaga pertahanan dan keamanan benteng maka ditempatkan orang Timor, Sabu, Rote, dan orang Solor sehingga bila terjadi konflik dan perang dengan kaum kolonial pun akan berhadapan kembali dengan orang pribumi sendiri yang ditempatkan di sekitar benteng.

Baca Juga  Mahasiswa UMK Sosialisasi Kampus ke SMA di Fatuleu Barat

Sehubungan dengan perjuangan Kudang Laiskodat bersama para meo yang tidak terbendung, membuat Belanda berupaya untuk menangkap dan mengasingkannya ke Batavia.  Berbagai strategi dan taktik licik Belanda, akhirnya Kudang ditangkap bersama para meo saat  melakukan upacara adat di tepi pantai utara Pulau Semau dekat Pelabuhan. Setelah selesai upacara adat, maka Kudang dan pengikutnya digiring masuk ke dalam kapal Belanda menuju Batavia pada tanggal 12 November 1689. Kudang bersama 23 orang pengikutnya atau meo.

Dalam pelayaran kapal tersebut tidak kunjung melewati wilayah perairan Pulau Semau, Pulau kera, dan Pulau Timor. Peristiwa pelayaran ini berlangsung selama enam (6) bulan, namun belum berhasil keluar dari wilayah perairan tersebut. Akhirnya, pelayaran pada bulan berikutnya, kapal Belanda kandas di depan tanjung Toda, di pantai Bun Namo atau pantai Bun pada bulan April 1690.

Di tanjung Toda inilah tokoh karismatik Kudang Laiskodat menyampaikan kepada kaptain kapal agar menurunkan mereka di pantai Bun agar kapal bisa melanjutkan pelayarannya. Jika tidak, kapal tetap karam. Kaptain kapal  menuruti perkataan Kudang dan akhirnya kapal itu dapat menarik jangkar salah satunya sedangkan jangkar yang lain tidak bisa terangkat dan diptong talinya saja dan melanjutkan pelayarannya. Jangkar kapal yang tertinggal tersebut saat ini disimpan sebagai bukti sejarah di Museum Provinsi NTT.

Kehidupan Kudang Laiskodat bersama 23 meo bermukim di sekitar pantai Bun Namo yang pada waktu itu sunyi dengan bentangan padang belantara yang luas dan tak berpenghuni. Namun, di padang itu, ditemukan sumber mata air yang diberi nama oleh Kudang Laiskodat yakni, “Uihelo” artinya air Helong dan mata airnya masih ada hingga saat ini.

Dalam keseharian mereka  dalam memenuhi kebutuhan hidup selalu mengandalkan ketersediaan alam dan adanya mata air yang tidak kering sekalipun pada musim panas. Namun demikian, eksistensi mereka kembali diusik oleh kedatangan serdadu Belanda yang membujuk mereka untuk loyal kepada Belanda akan tetapi tetap tidak digubris oleh Kudang Laiskodat dan para meonya. Serdadu Belanda mengumpulkan, memborgol kaki dan tangan, serta membantai mereka secara kejam dan sadis di tepi pantai Bun Namo-Sulamu.

Kuburan Kudang Laiskodat bersama para meo saat ini dipugar untuk dijadikan situs sejarah. Mata air yang tidak pernah kering walaupun di musim kemarau. Mata air tersebut berada dekat di pinggir pantai tetapi tidak pernah asin. Ada gua yang luasnya ratusan meter persegi  yang menjadi tempat persembunyian/ tempat tinggal Kudang Laiskodat dan para pengikutnya.

Lahan kurang lebih 3 Kilometer membentang dari Timur ke Barat sepanjang pantai dan di sekitarnya oleh masyarakat setempat sejak turun-temurun mengakui milik Kudang Laiskodat atau Keluarga Laiskodat dan atau milik Orang Helong yang tidak boleh diganggu maupun diambil alih dan dibiarkan kosong hingga saat ini. Kawasan pantai itu sangat cocok dan memiliki potensi untuk pengembangan obyek wisata pantai yang sangat fantastik dan eksotik serta bernilai sejarah tinggi.

Baca Juga  Jerry Manafe Bolehkan Pemuda Dapatkan Dokumen APBDes dan LPJ

Penulis berharap agar program kolaborasi Pemerintah Daerah Provinsi NTT  yang menjadikan sektor pariwisata sebagai prime mover melalui Dinas Pekerjaan Umum membuka akses jalan secara permanen untuk menunjang kawasan wisata pantai dan PLN membangun jaringan listrik agar menjadikan kawasan wisata yang terang benderang. Sedangkan,  Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif perlu melakukan penataan pantai Bun Namo- Sulamu sebagai destinasi wisata unggulan baru di Kabupaten Kupang, Provinsi NTT dan membina kelompok Sadar Wisata dan Dinas Perindag melatih dan menumbuhkan usaha masyarakat khususnya rumputl laut di kawasan itu.

Selain itu, Saat ini juga, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi NTT menjadikan kawasan itu sebagai wisata budaya dengan menempatkan salah seorang Juru Pelihara untuk menjaga dan memelihara situs tersebut sebagai upaya pemeliharaan dan pelestarian kekayaan budaya dan sejarah lokal daerah guna menunjang promosi pariwisata NTT.

Akhirnya, bertepatan dengan semangat perayaan HUT ke-77 RI, Penulis  tertarik untuk menguraikan sedikit kisah tentang sejarah perjuangan seorang tokoh karismatik Kudang Laiskodat. Sebelumnya, tulisan ini dibuat dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, 2 Mei 2022 dengan tema: Pimpin Pemulihan, Bergerak untuk Merdeka Belajar yang selaras dengan episode ke-18 tentang Merdeka Berbudaya serta untuk mewujudkan NTT bangkit dan sejahtera melalui penguatan literasi dan promosi wisata melalui kekayaan budaya dan alamnya serta nilai-nilai sejarah.

Tokoh lokal ini menggugah kita generasi masa kini untuk mengenang semangat juangnya  yang rela berkorban dan tidak mengenal pamrih untuk membela kebenaran dan keadilan, cinta budaya leluhur dan masyarakatnya, cinta tanah air dan bangsanya dan memperjuangkan kemerdekaan kaumnya.

Semangat perjuangannya sejalan dengan profil pelajar pancasila karena memuat nilai-nilai hidup seperti; menjadi suri tauladan bagi generasi muda, berjuang bukan untuk memperoleh imbalan dan jabatan, pantang menyerah dan tidak putus asa, selalu mempertahankan persatuan dan kesatuan.

Demikian tulisan ini dibuat semoga bermanfaat bagi pembaca. Tuhan Yesus berkati.

 

Referensi:

Referensi tulisan ini berasal dari buku berjudul: ‘Pengkajian Sejarah Perjuangan Kudang Laiskodat Melawan Belanda Abad XVII di Kupang-Semau’ yang disusun oleh Dr. Andreas Ande, M.Si. dan diterbitkan pada tahun 2021 oleh Bidang Kebudayan Dinas PK Provinsi NTT.

 

Komentar

News Feed