Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL) dalam program dialog ‘Beta, Gubernur Menjawab’ bersama Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Republik Indonesia (RRI) Kupang di ruang kerjanya pada Selasa (30/08/2022) beberapa waktu lalu menilai Kabupaten Kupang sebagai Kabupaten yang paling buruk di Provinsi NTT dalam aspek kedisiplinan.
Gubernur VBL menilai begitu ketika menjawab pertanyaan salah satu penanya dari wilayah Kupang Barat, Kabupaten Kupang yang ingin mengetahui strategi yang digunakannya agar ada kesamaan irama kerja di tingkat OPD dan Pemerintah Kabupaten/Kota menyamai gerak cepat dan semangat kerja Gubernur VBL saat ini.
Dalam program dialog yang dipandu Rani Veronika dan disiarkan secara langsung melalui beberapa saluran radio dan kanal youtube milik LPP RRI itu, Gubernur VBL juga menjelaskan, mayoritas pegawai yang bekerja di Kantor Bupati Kupang tinggal di Kota Kupang sehingga banyak dari mereka yang sering terlambat masuk kantor.
Menurut Gubernur VBL, jika masalah kedisiplinan seperti yang disampaikannya tidak dibenahi, Kabupaten Kupang akan menjadi kabupaten yang sangat buruk pengelolaan pemerintahannya.
Gubernur VBL yang dalam penjelasannya menekankan pentingnya kerja-kerja kolaboratif antara pemerintah dan lembaga-lembaga seperti gereja dan adat dalam memerangi persoalan sosial seperti kemiskinan dan stunting juga mengatakan, tidak mungkin menaruh harapan besar untuk Kabupaten Kupang berubah jika persoalan kedisiplinan belum dibenahi.
Daniel Kameo: Mesti ditanggapi Serius
Profesor Dr. Daniel D. Kameo, PhD., salah satu tokoh masyarakat yang berasal dari Kabupaten Kupang dan kini menjabat staf khusus Gubernur NTT Bidang Pembangunan dan Ekonomi ketika dimintai tanggapannya oleh media ini pada Jumat (02/09/2022) malam mengharapkan agar Bupati dan atau Wakil Bupati Kupang dapat menanggapi secara serius penilaian Gubernur NTT bahwa Kabupaten Kupang merupakan kabupaten terburuk soal kedisiplinan.

Sebelumnya Kameo sempat menolak untuk berkomentar sebab menurutnya, lebih baik jika tanggapan atas pernyataan Gubernur VBL itu berasal dari Bupati dan atau Wakil Bupati Kupang karena pernyataan Gubernur VBL sangat jelas dan eksplisit menggunakan diksi pemimpin yang merujuk pada pemimpin di wilayah Kabupaten Kupang.
“Nah Pemimpin di kabupaten ya bupati dan wakil bupati, ketua DPRD dan Forkopimda yang ada tetapi yang paling utama pemimpinnya yang biasa kita kenal bupati dan wakil bupati. Karena penjelasannya sangat eksplisit, penjelasannya terang benderang, saya kira pak guru tanya langsung ke pak bupati dan atau wakil bupati.” tolak Kameo saat itu.
Media ini lantas meminta tanggapan Kameo sebagai salah satu tokoh dan orang tua bagi masyarakat Kabupaten Kupang yang tentu memiliki harapan adanya perubahan dalam penyelenggaraan pembangunan bagi masyarakat Kabupaten Kupang saat ini, berkaitan dengan pernyataan Gubernur VBL bahwa Kabupaten Kupang akan menjadi kabupaten yang sangat buruk pengelolaan pemerintahannya, yang tentu berimbas pada kualitas pembangunan masyarakat, jika masalah kedisiplinan tidak dibenahi secepatnya.
Kameo menanggapi, menurutnya, yang dikatakan Gubernur VBL tentu berdasar pada kenyataan dan kondisi yang dilihat atau data yang diperoleh sehingga Bupati dan atau Wakil Bupati Kupang mesti menanggapinya secara serius.
“Apalagi omong di umum, terbuka seperti itu. Pasti punya landasan atau data. Jadi kalau saya, harapnya pak bupati dan atau wakil bupati menanggapinya secara serius. Kalau misalnya apa yang dikatakan pak gubernur itu tidak tepat, mereka harus menanggapinya. Kalau yang dikatakan pak gubernur itu tanpa dasar atau tanpa data, maka mereka harus mengeluarkan data dan argument untuk mengimbangi apa yang dikatakan oleh pak gubernur. Tetapi kalau yang dikatakan pak gubernur itu benar, maka, menurut saya, mereka harus melakukan sesuatu.” tanggap Kameo.
Bagi Kameo, dirinya hanya bisa menggarisbawahi pernyataan Gubenur VBL yakni, jika yang disampaikan VBL itu memang berdasarkan kenyataan, maka yang dikatakan Gubernur VBL bahwa disiplin dan kerja keras untuk membangun daerah seperti NTT, seperti kabupaten kupang, itu suatu keharusan karena daerah ini masih tertinggal dalam banyak hal sehingga tidak bisa bekerja secara biasa-biasa saja.
“Itu konsekuensi dari kondisi kita saat ini. Kita harus kerja lebih keras. Bahkan harus ada inovasi-inovasi, terobosan-terobosan, karena dalam banyak hal kita kan masih tertinggal.” kata Kameo.
Menurut Kameo, tertinggalnya Kabupaten Kupang bukan karena tidak memiliki sumber daya, sebab, sumber daya yang dimiliki seperti Sumber Daya Alam (SDA) di sektor pertanian, peternakan, perikanan, pariwisata dan Sumber Daya Manusia (SDM) sebenarnya sangat cukup bahkan berada pada kategori melimpah.
“Jadi kita punya semuanya. Tinggal bagaimana potensi sumber daya yang ada ini dimanfaatkan seoptimal mungkin untuk memajukan daerah ini, kabupaten ini, berujung pada meningkatnya taraf hidup masyarakat atau tingkat kesejahteraan masyarakat.” ujar Kameo.
Karena itu, menurut Kameo, meski terkesan normatif, tidak ada cara lain selain upaya untuk meningkatkan SDM, sebab tanpa SDM yang berkualitas dan berbobot, sumber daya alam yang tersedia melimpah tidak bisa dimanfaatkan. Sementara, kata Kameo, peningkatan SDM hanya dapat dilakukan melalui pendidikan yang berkualitas atau bermutu serta pelatihan-pelatihan dan berbagai kegiatan pendampingan sehingga perlu suatu gerakan yang lebih masif, terencana, terstruktur, dan lebih agresif.
Tentu saja gerakan-gerakan perubahan yang dimaksudkan hanya efektiv dan efisien jika pemangku kepentingan memiliki komitmen melayani yang diindikasikan dengan antara lain adanya kedisiplinan (dalam arti sempit sekaligus luas) semua aparatur pelayan masyarakat termasuk para pemimpinnya.
Bagi Kameo, faktor disiplin seperti yang disampaikan Gubernur VBL memiliki pengaruh yang kuat dan saling mengait pada upaya pengembangan SDM serta pengelolaan SDA yang ada di Kabupaten Kupang bagi kesejahteraan masyarakat.
Soalnya, jelas Kameo, di Indonesia pada umumnya, terutama di daerah-daerah yang masih memerlukan berbagai macam kegiatan pembangunan, peranan pemerintah masih sangat besar, berbeda dengan yang ada di negara-negara maju di mana peran pemerintah berada pada urutan kedua atau ketiga karena masyarakat atau dunia usaha dan dunia bisnis cenderung bisa jalan sendiri sebab infrastrukturnya sudah ada dan kemajuan inovasi serta teknologinya sudah dikuasai oleh masyarakat dan dunia usaha.
“Sementara di Indonesia, khusus di daerah kita misalnya, kita belum sampai pada tahap itu. Sehingga pemerintah, dari berbagai stakeholders yang ada, masih sangat dominan. Karena itu kalau pemerintah tidak jadi motor penggerak, masyarakat relatif tidak bisa bergerak.” jelas Kameo.
Kameo menambahkan, berkaitan dengan upaya menggerakkan masyarakat, sesuai komentar Gubernur VBL, tidak hanya pemerintah yang diharapkan tetapi gereja juga diminta untuk ikut berperan. Sebabnya, jelas Kameo, mayoritas masyarakat di NTT khususnya di pulau Timor hampir 90 persen adalah warga gereja baik Katolik maupun Protestan yang dekat dengan gereja sehingga tidak heran jika Gubernur VBL dalam berbagai kesempatan selalu meminta gereja untuk ikut berperan lebih aktif dalam proses pembangunan.
Meski gereja diminta ikut berperan, Kameo Kembali menegaskan, kedisiplinan dari berbagai stakeholder pemerintah saat ini tetap menjadi sangat penting karena kondisi kita saat ini masih sebagai negara membangun yang menempatkan peranan pemerintah sebagai salah satu stakeholder pembangunan yang sangat dominan baik dari sisi anggaran maupun regulasi.
“Kita masih sangat bergantung pada pemerintah. Jadi pemerintah yang disiplin dalam arti luas, dalam arti punya program yang jelas, lalu program itu diimplementasikan, program itu dimonitor, program itu dievaluasi, program itu ditinjau Kembali, ditingkatkan, dipercepat, dan sebagainya, itu perlu bukan saja disiplin, bahkan kerja yang lebih keras dari daerah-daerah lain yang mesin pembangunannya sudah jalan.” jelas Kameo.
Karena itu, lanjut Kameo, dirinya meyakini pernyataan Gubernur VBL berkaitan dengan kedisiplinan di Kabupaten Kupang memiliki arti luas tetapi VBL secara eksplisit memberi contoh dengan secara khusus menyoroti disiplin pegawai di kompleks perkantoran Oelamasi sebab, sesuai pernyataan VBL, jika diri sendiri tidak bisa disiplin, sangat sulit untuk menerapkan disiplin pada umumnya.
Kameo menduga, seperti yang sering didengar dan tidak lagi menjadi rahasia umum, sebagian besar dari pegawai yang bekerja di perkantoran Oelamasi tinggal di kota kupang sehingga tidak heran jika banyak yang masuk terlambat karena harus menggunakan kendaraan dari Kota Kupang ke Oelamasi.
“Saya menduga itu salah satu faktor yang menyebabkan mereka sering terlambat masuk kantor. Saya kira itu salah satu aspek disiplin yang dikemukakan oleh pak gubernur. Dan itu sebenarnya sesuatu yang harus diatasi. Bukan hal yang terus dibiarkan saja seperti itu.” kata Kameo.
Saat ditanya rekomendasi solusi seperti apa yang bisa ditawarkan, Kameo menyampaikan, menurutnya, keharusan masuk dan pulang kantor tepat waktu merupakan kewajiban sehingga diperlukan komitmen yang kuat untuk disiplin.
“Menurut saya, komitmen nomor satu. Kalau saya pegawai di kantor Kabupaten Kupang, itu artinya segala konsekuensi dan kewajiban harus saya laksanakan. Jadi kalau aturannya masuk pukul 7.30 atau pukul 8, ya masuk 7.30 atau pukul 8. Tanpa harus didiskusikan. Itu bukan sesuatu yang opsional. Itu sesuatu yang wajib. Kalau opsional, oke mari kita diskusikan. Ini sesuatu yang wajib. Kalau kerja kantoran itu masuk pukul 8, pulang pukul 4, ya sudah tidak ada diskusi.” ujar Kameo.
Meski begitu, Kameo mengakui, yang diketahuinya soal tempat tinggal para pegawai yang jauh dari lokasi perkantoran sebagai penyebab ketidakdisiplinan baru sebatas dugaan sebab belum ada kajian atau penelitian terkait hal tersebut.
“Tidak pernah ada hasil penelitian atau hasil kajian, apakah tidak disiplin ini betul karena jauh, atau karena malas, atau karena transportasi umum yang jelek, atau karena apa kan kita belum tahu. Ini baru kita duga-duga saja. Kecuali mungkin sudah ada studi atau penelitian yang saya belum lihat. Yang kita dengar ya karena jauh itu, sehinga ditambah dengan ketidakpedulian atau karena ketidakdisiplinan itu, maka lengkaplah sudah masalahnya.” kata Kameo.
Karena itu, lanjut Kameo, berkaitan dengan tempat tinggal yang jauh dari tempat kerja, jika para pegawai tidak komiut seperti para pekerja kantoran di luar Kota Jakarta yang sudah bergerak ke tempat kerja sejak dini hari, mereka akan selalu terlambat sehingga mereka perlu mengatur waktu dengan baik. Termasuk, tambah Kameo, pemerintah juga mesti mencarikan solusi terkait transportasi bagi para pegawai.
Menurut Kameo, karena pelayanan transportasi publik seperti di ibukota yang memungkinkan pegawai atau pekerja langsung turun di depan tempat kerja tidak ada, salah satu cara yang bisa dilakukan Pemerintah Kabupaten Kupang adalah mendekatkan timpat tinggal bagi para pegawai.
“Saya melihat, kita sebenarnya bisa bangun perumahan yang nanti dicicil atau disewa oleh para pegawai yang rumahnya jauh.” kata Kameo.
Bagi Kameo, upaya pemerintah untuk menyiapkan rumah bagi para pegawai selain sebagai upaya untuk menghidupkan Oelamasi sebagai ibukota Kabupaten Kupang, juga menjadi suatu proyek besar yang akan memutar roda ekonomi kabupaten kupang secara besar-besaran sebab pusat-pusat perbelanjaan dan aktivitas ekonomi masyarakat yang mengiringinya akan memungkinkan adanya peningkatan perputaran uang.
“Nanti kalau sudah ada tempat tingal, perumahan yang bisa disewa atau beli secara cicil oleh para pegawai, mereka ada pilihan. Baru kita bisa secara tegas melakukan tindakan disiplin.” ujar Kameo.
Menurut Kameo, menyiapkan rumah bagi para pegawai yang bekerja di perkantoran Kabupaten Kupang bukan pekerjaan berat sebab, selain mekanisme pengelolaan keuangan saat ini memungkinkan pemerintah untuk meminjam, sektor swasta juga bisa dilibatkan untuk bekerja sama. Pemerintah Kabupaten Kupang, kata Kameo, tinggal menyiapkan desain, tata ruang, dan lahan.
“Kita juga bisa mengajak developer-developer untuk membangun kota itu. Pemerintah sebagai katalisatornya. Inisiatornya. Pemerintah sebagai desainernya. Tentu saja pemerintah juga harus punya investasi di sana, paling tidak infrastruktur jalan, air bersih, dan jaringan listrik. Dan saya kira itu semua tersedia di sana, hanya tinggal diatur saja.” kata Kameo.
Selanjutnya Kameo juga menjelaskan, untuk jangka pendek Pemerintah Kabupaten Kupang juga sebenarnya bisa menyiapkan kendaraan transportasi publik yang dapat mengantar jemput para pegawai dari dan Kembali ke Kota Kupang.
Karena itu, lanjut Kameo, Bupati dan Wakil Bupati Kupang mesti duduk bersama dan mengarahkan pemangku kepentingan terkait untuk menginventarisasi jumlah dan rute transportasi para pegawai serta sumber daya yang disiapkan sebelum mengoperasikan kendaraan khusus yang mengantar jemput para pegawai.
“Saya kira mudah sekali dapat data seperti itu karena semua pegawai terpusat di Oelamasi. Bikin saja kuisioner, tinggal dia isi. Tanya dia tinggal di mana, transportasi apa yang dia pakai, rutenya lewat mana, masalahnya apa, lalu pemerintah bikin pemetaan rute antar jemput, sumber daya yang digunakan, dan seterusnya. Itu bukan penelitian yang sulit. 1 hari selesai. Dan harusnya tidak perlu bupati atau wakil bupati. Cukup Sekda atau Kepala Dinas dan Badan terkait yang buat itu. Tapi karena ini sudah jadi masalah yang cukup serius, ya bupati dan wakil bupati harus turun tangan.” jelas Kameo.
Bagi Kameo, untuk solusi jangka pendek, kajian seperti yang disarankannya memang harus dilakukan agar selain tidak terkesan hanya asal bicara, pengaturan transportasi untuk para pegawai juga tidak cenderung kondisional.
Lebih lanjut menurut Kameo, langkah yang diupayakan oleh pemerintah, termasuk oleh para pegawai sendiri dalam mengatur diri agar selalu didiplin seperti para pegawai kantoran dari Kota Bogor ke Jakarta yang sudah harus bergerak sejak pukul 4 dini hari juga berkaitan dengan etos kerja yang dimaksud Gubernur VBL sebagai disiplin.
“Itu yang pak gubernur maksudkan soal disiplin. Karena kalau ada disiplin, semua pihak bisa berikhtiar untuk mencari alternatif solusi.” tutup Kameo.
Komentar