Jembatan Termanu adalah jembatan yang menghubungkan wilayah Desa Tuakau di kecamatan Fatuleu Barat dan Desa Manubelon di Kecamatan Amfoang Barat Daya.
kedua wilayah yang berada di Kabupaten Kupang ini dipisahkan oleh sungai yang airnya mengalir sepanjang tahun. Sungai yang lebarnya 170 meter lebih itu disebut sebagai sungai Termanu sehingga jembatan yang dikerjakan pada tahun 1994 itu juga ikut disebut sebagai jembatan Termanu.
Sebelum penulis menyodorkan cerita mengenai nama sebenarnya Sungai dan Jembatan tersebut, yakni Talmanu atau Talman, sesuai dengan sebutan para tetua baik yang berada di Desa Tuakau maupun Desa Manubelon saat ini, baiknya kita menganalisis sejumlah kemungkinan yang menyebabkan adanya kesalahan penyebutan yang terjadi sehingga kebanyakan dari kita mengenal dan menyebutnya sebagai Termanu. Bahkan, oleh pihak tertentu kemudian dihubungkan dengan mitologi tertentu yang dikaitkan dengan keberadaan batu Termanu di Rote.
kemungkinan pertama, kesalahan penyebutan mulai terjadi saat pengerjaan jembatan tersebut. Keberadaan pekerja yang berasal dari Rote, kemudian memplesetkan penyebutan Talmanu yang didengarnya dari warga lokal menjadi Termanu. Penyebutan yang salah itu bisa jadi ikut didengar dan digunakan oleh pemilik usaha konstruksi (kontraktor) yang menangani pengerjaan. Pejabat daerah yang berkepentingan terhadap pengerjaan dan pengresmian jembatan tersebut jadi ikut salah menyebut karena (biasanya) berinteraksi dengan kontraktor. Publikasi pihak pemerintah setelah pengerjaan jembatan selesai dengan kesalahan penyebutan yang menyertai ikut diduplikasi sekian banyak Abdi Negara yang sering berkunjung ke Amfoang. Akhirnya, banyak pihak dari luar Amfoang dan Fatuleu yang tidak pernah melewati jembatan tersebut juga mengenalnya sebagai Termanu. Ini kemungkinan pertama penyebab salah sebut. Bisa jadi salah. Penulis sendiri tidak memiliki informasi pendukung untuk menguatkannya.
Kemungkinan kedua, kesalahan penyebutan dimulai saat adanya interaksi antara orang tertentu dari Rote dengan warga Fatuleu maupun Amfoang yang tinggal di sekitar sungai jauh sebelum jembatan dikerjakan. Seperti yang diketahui, sejak tahun 1818, Residen Belanda yang berkuasa di Timor mulai menempatkan sejumlah orang Rote di daerah tertentu di sepanjang pesisir dari Sumlili di Kupang Barat hingga Oepoli dan Oekusi. Sesuai cerita dari beberapa tetua, hampir tidak pernah ada konflik, sesuai dengan niat atau kepentingan penjajah saat itu, antara warga lokal dengan orang Rote yang menempati daerah pesisir di dekat sungai tersebut. Ikan yang berlimpah serta binatang buruan seperti babi hutan, sapi liar, dan rusa yang ada di sekitar sungai diambil bersama. Hubungan kawin – mawin dan interaksi budaya antar mereka juga terjadi. Keberadaan keluarga asal Rote bermarga ‘Yan’ di Manubelon yang mengakui juga memiliki fatu kanaf (sesuai adat budaya atoin meto, suku Timor yang mendiami pulau Timor bagian Barat) di dekat sungai tersebut menjadi bukti adanya hubungan erat antar mereka. Kemungkinan, interaksi yang demikianlah yang ikut memengaruhi kesalahan penyebutan nama sungai Talmanu menjadi Termanu, hingga kemudian para pekerja jembatan termasuk pemangku kepentingan yang berinteraksi dengan warga lokal yang salah menyebut juga ikut-ikutan salah.
Talmanu atau Talman, nama sebenarnya
Masih banyak tetua di Fatuleu dan Amfoang yang menyebut Talmanu atau Talman jika merujukkan maksudnya pada jembatan atau sungai Termanu. Talmanu berasal dari kata Tal yang artinya Menjaga atau Membatasi, dan Manu yang berarti keras atau kuat.
Dari penelusuran penulis, sedikitnya terdapat dua versi kisah yang kemudian melahirkan nama sungai Talmanu.
Kisah pertama penulis dapatkan dari Bapak Marten Balabi, tetua dari nonot/klan NaiBenu yang ada di Manubelon saat ini.
Bapak Marten Balabi berkisah, dahulu, dua anak gadis usif Ambenu yang tinggal di wilayah Amfoang (setelah berpindah dari kerajaan Ambenu saat pendudukan kolonil) dinikahi oleh salah satu meo (pahlawan) dari nonot Oenam yang tinggal di seberang sungai, wilyah Fatuleu Barat saat ini. Kedua anak gadis tersebut bernama Bi Neti Nael dan Bi Neti Ana’. Karena persoalan belis, pecah perang sengit antar kedua pihak.
Bapak Fortunatus Alupan, ketua Lembaga Adat Desa Tuakau, membenarkan kisah tersebut. Dia berkisah, ketika Usif Ambenu berkunjung ke kediaman meo yang mengawini kedua anak gadisnya untuk menagih belis dari Bi Neti Ana’ yang belum dilunasi, Dia diperlakukan dengan cara yang kurang ajar. Suami dari kedua anaknya menyuguhkan sirih pinang, kapur, dan tembakau pada mata pedang dan disodorkan padanya.
Merasa tersinggung, Usif Ambenu berkata, “Saya datang hanya untuk kepentingan belis anak perempuan saya. Tetapi, jika engkau memperlakukan saya begini, kepalamu akan kami bawa besok pagi.”
Esoknya, pecah perang sengit antara Usif Ambenu beserta pengikutnya dengan pihak sebelah yang sudah berjaga – jaga. Keberadaan 5 (lima) tengkorak manusia yang masih bisa dilihat hingga hari ini di gua yang dinamai Nuat Bi Siki di Desa Manubelon menjadi bukti perang tersebut. kelima tengkorak itu berasal dari kepala beberapa meo dari pihak laki – laki. Tengkorak kepala dari suami kedua anak Usif Ambenu juga ada di sana.
Untuk menghindari perang meluas, kedua Usif akhirnya sepakat untuk membatasi ruang gerak masing – masing pihak sehingga diadakanlah ritual adat untuk menetapkan sungai yang memisahan kedua wilayah sebagai batas. Dalam penggal cerita, disebutkan, An Talen Manun Fin, yang berarti bahwa dibatasi atau dijaga dengan sangat keras. Maksudnya sungai tersebut menjadi pembatas melalui ritual adat sehingga masing – masing pihak tidak bisa saling menyeberang baik untuk urusan mencari madu atau binatang buruan dan urusan lain. Jika melanggar, kematian adalah tanggungannya. Sejak itu, sungai yang membatasi ruang gerak kedua belah pihak disebut sebagai Talmanu. sebagian yang lain menyebutnya Talman. meski begitu, maksudnya sama, merujuk pada kisah mengenai An Talen Manun Fin.
Hingga hari ini, kata bapak Balabi, mesti ada proses Naketi (Proses membersihkan beban masa lalu melalui ritual dan doa) jika ada hubungan kawin mawin antar kedua belah pihak.
Meski ikut membenarkan kisah di atas, Bapak Fortunatus Alupan punya versi cerita yang lain. Menurutnya, masalah kawin – mawin yang berujung perang itu adalah masalah keluarga atau marga tertentu sehingga saat itu, Usif dari pihak Oenam memilih untuk tidak ikut campur. Bahkan, para tetua ikut membenarkan cara Usif Ambenu terhadap suami anak – anaknya yang berlaku kurang ajar.
Menurutnya, ritual adat untuk menjadikan sungai tersebut sebagai batas agar pihak Amfoan dan Ambenu tidak bisa masuk berburu binatang buruan dan madu di wilayah Fatuleu dipicu oleh kekecewaan Usif Sonbai terhadap pihak Amfoan dan Ambenu yang tidak ikut membantunya memerangi pihak penjajah yang berpusat di Kupang.
“Karena kecewa, Usif Sonbai kemudian melarang pihak Amfoan agar tidak masuk ke wilayah Fatuleu. Pihak Fatuleu juga tidak bisa berburu ke wilayah Amfoan saat itu. Jika binatang peliharaan kami berpindah ke wilayah Amfoan, itu jadi milik mereka. sebaliknya juga begitu.” Cerita bapak Alupan.
Meski berbeda versi, keduanya sepakat bahwa Talmanu adalah nama sebenarnya dari sungai tersebut. Dengan begitu, nama jembatannya juga adalah Talmanu.
Penulis: Simon Seffi, pengelola media Suara Amfoang.
Komentar