google.com, pub-1400615731964576, DIRECT, f08c47fec0942fa0
google.com, pub-1400615731964576, DIRECT, f08c47fec0942fa0
oleh

Aku Sudah 18 Tahun

Tidak terasa waktu cepat berlalu padahal rasanya baru kemarin aku uring-uringan karena tidak diberi jajan tetapi sekarang sudah tiba saatnya, aku harus menentukan pilihan hidup.

Aku harus lebih keras lagi berusaha, masalahku sekarang bukan lagi tentang soal-soal matematika yang sulit kupecahkan, tetapi tentang hidupku selanjutnya.

Banyak kisah jadi bumbu perjalananku, mengajarkanku bahwa realita tak seindah kenyataan. Ada kisah masa lalu yang begitu pahit yang akan kujadikan pembangkit semangat bagi mereka yang bernasib sama denganku.

Petang menyambut pagi. Tak terasa 18 tahun sudah kuhadir di dunia.

Aku yang dahulu hanya menghafal dua kata yaitu “Mama dan Bapa”, Kini aku dapat mengerti dan mengucapkan banyak kata.

18 tahun yang lalu aku hanyalah bayi mungil yang kehadirannya membawa rasa perih di hati.

Aku sadar hadirku saat itu bukan seperti bayi lainnya yang hadirnya membawa sebuah kebahagiaan tapi kehadiranku saat itu membawa luka yang menyayat batin.

Baca Juga  Oknum Guru Pria Lecehkan Murid Pria di Amfoang, Warga Minta Dinas PK Kabupaten Kupang Tindak Tegas

Hadirku seakan ditolak dunia. Kata-kata gunjingan terus dilontarkan oleh orang-orang.

Tapi Tuhan menciptakan seseorang dengan kesabaran yang berlipat ganda, Ia adalah nenekku. Wanita tegar yang berjasa dalam hidupku, membesarkanku dengan cinta tiada tara. Menyayangiku tanpa batas. Bahkan tak pernah membandingkan kehidupanku dengan anak lainnya.

Aku lahir sebagai cucu pertama dalam keluarga kami, tapi kehadiranku malah membuat keluarga kami dijadikan bahan gosip.

Perkataan buruk tentang kehadiranku sudah menjadi hal tabu bagi keluargaku.

Bukan hal yang mudah untuk dilewati keluargaku terutama bagi nenek.

Namun tiada pernah kudengar keluh-kesah yang keluar dari mulut nenek. Cintanya begitu tulus.

Bahkan waktu kecil aku mengenal nenek sebagai ibu, dan kerap memanggilnya mama hingga saat ini.

Baca Juga  Kisah Ambigu | Puisi Zhindi Klali

Saat itu juga aku menganggap ibu sebagai orang asing. Aku sama sekali tidak mengenal Ibu. Sejak aku berumur 3 bulan ibu terpaksa harus pergi mencari sesuap nasi di negeri orang.

Mungkin juga aku tak seberuntung anak perempuan lain yang memiliki sosok laki-laki yang mencintai mereka dengan begitu hebatnya, yakni seorang ayah.

Aku merasa iri pada mereka. Mereka tumbuh dewasa dengan bimbingan dari seorang ayah.

Ayahku ada tapi aku kehilangan perannya, aku masih dapat melihatnya namun aku tak merindukan apapun darinya.

Walaupun begitu aku masih punya kakek yang dapat menggantikan peran ayah, kakek mencintaiku dengan segala tindakannya.

Seperti yang kukatakan sebelumnya kakek mencintaiku bukan sekedar kata. Aku dibesarkan di keluarga yang gengsi mengutarakan rasa cintanya lewat kata-kata, tapi mengutarakannya lewat tindakannya.

Baca Juga  Cintamu tidak Sirna | Puisi Zhindi Klali

Mereka terus mendukungku dan menjadi rumah tempatku pulang, hingga aku tumbuh dewasa.

Walau tak pernah bertemu, Ibu selalu juga mensupportku. Rintihan dan lelah Ia bungkam, menyembunyikan beribu perih di balik senyumannya. Menahan rindu dalam penantian. Banyak momen terlewati, Ibu begitu giat mempersiapkan materi demi masa depanku.

Ibu tidak pernah memaksaku. Membiarkanku memilih jalan yang akan kutempuh selanjutnya. Namun rupanya aku terlalu tinggi menggantungkan mimpiku.

Untuk sampai pada titik ini, aku melewati ribuan proses.

Ajari aku sekuat dirimu ibu. Aku terlalu lemah ketika badai menghempaskanku.

Aku tak pernah memilih terlahir dari keluarga seperti apa, namun mungkin Tuhan ingin menjadikanku kuat agar mampu berdiri sendiri tanpa figur ayah.

Doakan aku ibu, agar kerinduanmu dapat kugapai.

(Oleh: Zhindi Klali, dituliskan ketika tepat berusia 18 tahun.)

Komentar

News Feed