Saudaraku, ini angka unik.
Mungkin saudara telah mengetahuinya dan sedang berpikir atau sedang mengatakannya. Mungkin saudara yang suka menganalisis angka sedang menelisik makna di balik angka unik ini. Mungkin saudara yang senang pada horoskop akan menimbang-nimbang nasib orang, komunitas, suku bangsa, bahkan bangsa dan bangsa-bangsa dengan memedomani angka ini. Atau bagi mereka yang kurang peduli pada angka ini, hanya mengetahui saja bahwa hari ini tanggal dua bulan dua tahun dua ribu dua puluh, atau sebutan lainnya, tanggal nol dua bulan nol dua tahun dua nol dua nol.
Ha ha…
Saya sendiri hanya melihat angka ini dari aspek pengetahuan belaka, bahwa angka ini tidak akan terjadi lagi entah untuk berapa lama lagi. Satu hal yang pasti angka ini sungguh menarik bagi yang suka memerhatikannya. Angka yang dapat menjadi hoki pada mereka yang percaya mitos kehidupan di atas dasar angka dan hal-hal ikutannya. Angka seragam. Angka yang sama dari awal menulisnya hingga akhirnya. Posisi angka nol saja yang pindah atau angka dua yang pindah ketika tiba pada menulis angka tahun 2020.
Saya lebih condong mengajak kita untuk ada dalam kesatupaduan. Kita tidak harus seragam seperti angka 02-02-2020, tapi kita dapat berpadu dalam kepelbagaian kita untuk menyusun suatu barisan menarik dalam menata kehidupan ini.
- Menata kehidupan berkeluarga. Suami, isteri dan anak-anak ada pada posisinya masing-masing. Kita tidak sedang menata keseragaman dalam rumah tangga oleh karena potensi dan talenta kehidupan suami, isteri, anak saling berbeda. Suami, kepala keluarga dan segala fungsi yang melekat padanya. Isteri, ibu rumah tangga dan juga segala fungsi yang melekat padanya, demikian pula pada anak-anak. Orang tua menjadi satu daging dan satu nafas, tetapi mereka tidak seragam karena mereka berbeda jenis kelamin. Pikiran dan perasaan dapat dipadukan untuk kebermafaatan rumah tangga. Anak-anak diajak dalam satu meja diskusi, ruang diskusi keluarga, ruang curahan hati, di sana anak-anak menjadi berpadu dengan orang tua tanpa keseganan dan keengganan terlebih lagi tanpa ketakutan pada orang tua.
- Menata kehidupan bersama dalam masyarakat. Di masyarakat ada di sana pemimpin-pemimpin. Ada pemimpin yang sifatnya formal dalam institusi berpemerintahan. Ada institusi yang informal yang secara supra struktur nampak tidak ada sama sekali, tetapi dalam kenyataan kehidupan bersama mereka ada. Kepala Desa dan perangkanya, merupakan pemimpin-pemimpin dalam masyarakat yang institusinya formal, legal. Bahkan secara berjenjang dalam satu negara ada pejabat-pejabat yang ditetapkan berdasarakan aturan yang berlaku. Di sana mereka hendak menata kehidupan bersama yang padu, bukan seragam seperti angka 02-02-2020. Siapakah yang tidak mengetahui bahwa jika ada 1000 kepala maka di sana ada 1000 pikiran?Semua orang yang belajar mengetahui akan hal ini. Lalu, bila semua itu tidak ditata, bagaimana mendapatkan keterpaduan kata dan akta!? Sementara itu para pemimpin supra struktural di tengah masyarakat, biasanyao orang menyebutkan mereka dengan istilah tokoh. Lalu lahirlah berbagai istilah pada mereka seturut fungsinya, tomas, toga, toda, dan lain-lain. Ada pula yang masih mempertahankan tatanan kehidupan masa lampau yang “feodalist” sehingga di sana ada, usifdan nai, dan banyak istilah lain menurut bahasa lokal di mana fungsi-fungsi supra struktural itu berada. Mereka pun dapat menjadi bagian yang dapat dipadukan untuk kehidupan bersama tanpa menyeragamkan kondisi di tempat dimana mereka berada.
- Menata kehidupan bersama dalam bergereja. Dalam kehidupan bersama sebagai umat Tuhan atau Jemaat Tuhan, di sana terasa tiada yang satu yang lebih tinggi dari yang lainnya. GMIT misalnya memberlakukan pendekatan prebiterial-sinodal. Pendekatan ini tidak hendak menunjukkan kepada kita bahwa para pemimpin yang terpilih posisinya lebih tinggi daripada yang lainnya di tengah-tengah jemaat. Pemahaman yang demikian akan membuat kita menjadi keliru menempatkan para pemimpin umat di GMIT sebagai yang harus dihormati lebih tinggi daripada yang lainnya. Tidaklah demikian. Mereka justru ada di sana sebagai “penatalayanan”. Mereka ditugaskan untuk menata pelayanan ini agar padu antarjemaat di dalam organisasi gereja (dhi.GMIT) dan organisasi-organisasi gereja lainnya yang mirip dalam pendekatan organisasi dan menejemennya. Para pendeta yang ditugaskan ke tengah-tengah jemaat menjalankan fungsi pelayanan sebagai presbiter, sekaligus pada saat yang sama menjalankan fungsi organisatoris sebagai penatalayanan. Maka, mereka menjadi Ketua Majelis Jemaat, Wakil Ketua Majelis Jemaat, bukan Kepala Jemaat dan atau Wakil Kepala Jemaat. Tugas mereka menata pelayanan ini agar padu dan tidak diseragamkan. Kepaduan itu untuk menjaga langkah perwujudan program yang disepakati dalam sidang-sidang secara berjenjang.
Demikianlah refleksi saya pada angka 02-02-2020 hari ini. Saya condongkan pikiran ini kepada keterpaduan oleh karena insan manusia ciptaan Tuhan ini, pada setiap individu ada padanya potensi dan talenta. Potensi dan talenta itulah yang mesti dipilah, bilas dan tata dalam keterpaduan itu. Kita boleh nampak seragam dalam tampilan misalnya ketika bernyanyi, tetapi, anggota paduan suara itu telah terbagi atas maksimal empat warna suara. Itulah keterpaduan. Seragam dalam tampilan, padu dalam menata kepelbagaian, menampilkan keindahan dalam kehidupan bersama.
Semoga tulisan ini berkenan pada pembacanya.
Koro’oto, 02-02-2020
Penulis: Heronimus Bani
Komentar